Rahasia Menjadi Manusia yang Kaya Raya
40 Bentuk PC Paling Menakjubkan Yang Belum Pernah Anda Lihat
10 Negara Ini Pernah Ada di Bumi dan Sekarang Hilang
9 Tuntutan Yang Pernah Dilayangkan Kepada Google
Kisah cinta keduanya berawal dari sebuah perjodohan. Kala itu, Pak presiden Harto berusia 26 tahun dan sedang bertugas di Jakarta, yang saat itu sedang riuh dengan peristiwa penjanjian Renville.
Pak presiden Harto kemudian didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya pak harto.
Awalnya, pembicaraan di antara mereka merupakan pembicaraan layaknya orang tua dan anak. Tetapi, tiba-tiba Ibu Prawiro bertanya kepada Pak presiden Harto tentang rencana pernikahan dengan ibu tien.
Pak presiden Harto yang saat itu berpangkat Letkol tidak begitu serius menanggapi pertanyaan bibi sekaligus ibu angkatnya itu. Tetapi, Ibu Prawiro terus mendesak dan mengingatkan Pak presiden Harto pentingnya sebuah pernikahan yang tidak boleh terhalangi oleh apapun termasuk perang.
"Tetapi, siapa pasangan saya? Saya balik bertanya kepada mereka. Saya tidak punya calon," ujar Pak presiden Harto dalam otobigrafi 'Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya' halaman 43-45.
Ibu Prawiro pun meminta Pak Harto agar tidak pusing dengan masalah perjodohan. Ibu Prawiro ternyata telah memiliki calon yang cocok untuk mendampingi Pak Harto yaitu ibu negara tien.
"Kamu masih ingat dengan Siti Hartinah (ibu tien), teman satu kelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?" tanya Ibu Prawiro.
Pak Harto ternyata masih ingat dengan sosok Ibu Tien. "Tetapi, bagaimana bisa?" kata Pak presiden Harto kembali bertanya.
Pak presiden Harto tidak yakin Ibu Tien mau menjadi istrinya. Alasannya sederhana, Ibu Tien putri seorang bangsawan Jawa, sedangkan Pak presiden Harto hanyalah anak seorang petani.
"Apa dia akan mau? Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran," ungkap Pak Harto dengan perasaan minder.
Namun, Ibu Prawiro mencoba membesarkan hati Pak Harto. Dia kemudian berjanji akan mengurus semuanya, dengan jaminan kedekatannya dengan keluarga Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, ayah dari Ibu Tien.
Tanpa disangka, ternyata keluarga KPH Soemarjomo mau menerima tawaran Ibu Prawiro. Akhirnya, kedua keluarga itu sepakat untuk menggelar upacara 'nontoni', mempertemukan antara calon pengantin pria dengan calon pengantin wanita.
"Agak kikuk juga, sebab sudah lama saya tidak melihat Hartinah dan keragu-raguan masih ada pada saya, apakah dia akan benar-benar suka kepada saya," tutur Pak Harto.
Suasana saat prosesi 'nontoni' berlangsung ternyata cukup baik dan hangat. Tanpa harus menunggu lama, pertemuan itu berujung pada pembicaraan mengenai penentuan hari pernikahan.
"Ini rupanya benar-benar jodoh saya," kata Pak Harto.
Pernikahan pun dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, dalam suasana penuh kesederhanaan, karena perang tengah berkecamuk kala itu. Bahkan, penerangan di malam hari terpaksa harus dibuat redup untuk menghindari kemungkinan adanya serangan dari Belanda.
Tiga hari usai pernikahan, Pak Harto langsung memboyong Ibu Tien ke kota tempatnya bertugas, Yogya.
Sumber : Merdeka.com
Ternyata Para Pria di Indonesia Terancam Jomblo Permanen
Beginilah Gambaran Acara-acara TV 2013 di Indonesia (Komik)
salam hangat ijin menyimak
BalasHapusClick to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.